Lagu Minang Layak Berkembang

Akhir-akhir ini berbagai tanggapan muncul terhadap lagu Minang yang berkembang sekarang. Di antaranya begini, “Kini sudah tidak ada lagi lagu Minang. Yang ada, lagu-lagu kacangan berbahasa Minang. Jauh beda dengan masa-masa di bawah dekade 1980-an. Lagu Minang melantun, menghanyutkan dan sarat makna. Akibatnya, sepanjang masa tembang-tembang demikian abadi. Dikenal dan disenangi semua generasi,” demikian tertulis di sebuah blog.

Kekecewaan atau juga sirat keprihatinan seperti itulah yang kini mewabah dalam masyarakat Minangkabau, melihat perkembangan lagu-lagu hari ini. Sepertinya lagu Minang kehilangan rasa dan makna. Lagu yang dulu identik dengan ratok (ratap), karena berakar dari dendang saluang juga rabab dan bansi, kini seakan tertutupi oleh komposisi musik yang berkembang sekarang. Sebagaimana hal serupa juga dirasakan Ardoni Yonas, pengamat dan pencipta lagu Minang, “Walau tidak semuanya, tapi kita akan sepakat bahwa lagu Minang sekarang tidak lagi mencerminkan budaya. Contoh, dalam sebuah lagu Minang, ada lelaki yang menangis karena ditinggalkan pacarnya. Padahal, dalam budaya Minang, laki-laki itu tegar dan tidak boleh menangis.”

Album Pandeka Tengkak

Indra Yeni, peneliti lagu Minang, dalam pengamatannya juga menemukan hal yang sama. “Yang tidak bisa dilepaskan dari lagu Minang dulu adalah pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Bagi orang Minang, lagu itu adalah sebuah pesan, yang disampaikan dengan makna yang berkias. Dalam perkembangannya, lagu Minang sekarang tidak lagi menampakkan itu. Mungkin, karena saya memang dibesarkan dengan kultur yang lama sehingga saya berkesimpulan bahwa lagu-lagu Minang sekarang hampir tidak memiliki lagi pesan dalam setiap penyampaiannya.”

Bahkan, penyanyi lagu Minang legendaris, Elly Kasim pun mengemukan hal yang sama tentang lagu Minang sekarang. Sebagaimana dilansir padangkini.com, “Kalau dahulu lagu Minang itu diambil dari pantun yang merupakan salah satu budaya Minangkabau yang menyembunyikan makna tersirat dalam tiap syairnya, namun saat ini hal tersebut sudah mulai menipis, barangkali budaya Minangkabau sudah kurang diminati lagi atau kurang dipertahankan oleh generasi-generasi muda zaman sekarang.”

Sementara itu, Arifni Netrirosa, peneliti di Jurusan Etnomusikologi USU, dalam situs cimbuak.net melihat, bahwa di Minangkabau, perkembangan musik pop daerah dewasa ini sudah sangat jauh memasuki dunia musik pop yang berkembang secara umum di Indonesia, bahkan dengan cepat telah memanfaatkan ciri-ciri tren musik dunia. Misalnya di Minangkabau bisa kita lihat musik pop daerahnya yang cukup populer seperti lagu Kutang Barendo yang berasal dari seni vokal tradisional dendang Minangkabau dengan iringan Saluang (end blown flute) dengan teknik sirkulasi tiupan. Bahkan tidak kalah lagi di antara lagu-lagu pop daerah yang berangkat dari musik dan lagu tradisi itu telah dikembangkan lagi dengan memasukkan unsur-unsur ‘rap’ ke dalam komposisi musiknya. Memang mau tidak mau harus diakui bahwa lagu-lagu dengan memuat musik seperti di atas cukup laris terjual di Sumatera Barat dan sekitarnya.

Mengamati yang seperti itu, lalu muncul pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan perkembangan lagu Minang tersebut. Barangkali, perlu juga kita dudukkan apa yang dimaksud dengan lagu Minang itu sendiri. Sebab, setiap orang memiliki defenisi masing-masing tentang ini. Indra Yeni, yang juga dosen di Jurusan PG-PAUD FIP UNP, memberi defenisi yang jelas tentang lagu Minang. “Berdasarkan tata bahasanya, secara resmi definisi lagu Minang itu tidak kita temui. Lagu Minang hanyalah sebuah sebutan untuk lagu-lagu yang berasal dari daerah Minangkabau atau Sumatra Barat. Karena pengaruh dialek, lagu Minangkabau sering disebut sebagai lagu Minang saja. Dari sini kita ketahui bahwa sebenarnya lagu Minang itu adalah semacam lagu daerah bukan lagu rakyat (folk song). Biasanya yang disebut dengan lagu-lagu Minang adalah lagu-lagu daerah yang dikomersilkan.”

Tonggak Tuo lagu pop Minang

Merujuk pada defenisi tersebut, adanya komersialisasi dalam perkembangan lagu Minang tidak lepas dari sejarah munculnya kreatifitas seniman dalam memopulerkan lagu-lagu Minang. Frans Sartono (kompas.com), menjelaskan, pada era 1950-1960-an, pembatasan pemutaran musik pop Barat di radio berimbas pada kreatifitas seniman lokal untuk berbicara dengan bahasa daerah dalam lirik lagu. Orkes Gumarang yang personelnya adalah Urang Awak memopulerkan lagu berbahasa Minang, seperti Ayam Den Lapeh sampai Laruik Sanjo. Mereka mengakomodasikan unsur musik Latin yang saat itu banyak digemari di negeri ini. Oslan Husein, dengan bahasa Minang pula, memopulerkan lagu seperti Kampuang nan Jauh di Mato, dan Elly Kasim dikenal lewat Bareh Solok.
Dengan penelusuran yang lebih lengkap mengenai sejarah munculnya lagu-lagu Minang yang bersinergi dengan musik-musik lain, Theodore KS, penulis masalah industri musik (kompas.com) menguraikan, bahwa di masa 50-an muncul grup-grup musik yang menggubah lagu-lagu Minang dengan warna musik lain, seperti musik klasik. Orkes Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria me-rock’n’roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang Tjari-nya. Mereka-mereka ini merupakan grup musik yang dianggap tonggak tuo dalam memopulerkan lagu pop Minang ketika itu. Kelahiran grup-grup musik ini ditopang oleh keberhasilan orkes Penghibur Hati yang lebih dulu berdiri dan terkenal dalam mendendangkan lagu-lagu Minang di RRI Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan Sempaya. Pengaruh lagu-lagu Latin, seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, yang sedang digemari tak mampu ditepis.
Gumarang yang dilirik oleh perusahaan rekaman Irama pimpinan Suryoso Karsono, merekam Ayam Den Lapeh ciptaan A Hamid, Jiko Bapisah dan Laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yo baitu ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain, yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai pengiring tarian di Amerika Selatan.

Mengikuti sukses Gumarang, Kumbang Tjari pun tak kalah terkenalnya. Adalah Nuskan Syarif yang menakhodai grup musik yang berdiri tahun 1961 ini. Meskipun mengagumi Gumarang, Nuskan berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar. Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang.
Memasuki studio rekaman piringan hitam (PH), album Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif, Taratak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif), Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan), Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan kawan-kawan).
Selain Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam lagu-lagu Minang.

Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an. Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene.

Seribu lagu setahun

Melihat perkembangan awal lagu-lagu pop Minang ini, wajar saja kalau sebagian penggemar lagu Minang prihatin dan kecewa dengan lagu Minang sekarang. Salah satu faktor yang menyebabkan lagu-lagu Minang tempo dulu bisa hinggap lebih lama di telinga pendengarnya adalah tidak banyaknya industri rekaman, apalagi ditahun-tahun 50-an tersebut. Dalam setahun bisa dihitung dengan jari lagu yang beredar. Belum lagi pada masa itu rekaman piringan hitam (PH) dengan gramafon sebagai medianya. Bahkan untuk tampil di RRI saja harus melewati seleksi yang ketat. “Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba,” tulis Theodore.

Dibandingkan dengan rentang 90-an hingga hari ini, lagu-lagu Minang diproduksi seperti kacang goreng. Bisa kita lihat, ada ribuan lagu dan ratusan artis yang beredar di pasar lagu Minang mulai dari kaset sampai VCD. “Sekarang saja ada seribu lebih lagu yang direkam dalam setahun” kata Agus Taher, pencipta dan produser lagu Minang.

Album Buset Isil

Album Poh Cak Pay

Album Boy Sandy - Rambaian Taduang

Melihat kondisi seperti ini, Agus pun tidak menampik, pencipta lagu berkreasi mengikuti musik yang berkembang. Namun, tidak meninggalkan identitas Minangkabaunya. “Saya saja sudah menggunakan melodi manual seperti musik-musik anak muda sekarang itu,” katanya.

Di sini perlu diingat, bahwa, seni dan budaya bukanlah hal yang statis atau tetap, tetapi dinamis atau terus berkembang. Seni itu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Adat Minangkabau juga mengatur hal ini, yaitu, adat nan babuhua sentak atau adat yang megikuti perkembangan zaman. Jadi, pendapat bahwa lagu-lagu Minang sekarang tidak bermutu atau yang mengatakan lagu sekarang bukan lagu Minang, hendaknya juga menggunakan kaca mata yang sama dalam memandang lagu Minang sekarang. “Sayang sekali kalau kita ikut-ikutan memfonis terlalu dini. Sekali lagi, bahwa saat ini ada kenyataan yang tidak bisa dibantah, bahwa lagu Minang itu jelas semakin berkibar dan suatu kenyataan pula bahwa lagu Minang adalah produksi terbesar di Indonesia,” ulas Sexri Budiman, pencipta dan pengamat lagu Minang. (Gusriyono/S Metron/Andika D Khagen)

Padang Ekspres, 15 Maret 2009

Sumber:

http://andika-khagen.blogspot.com/2009/03/lagu-minang-layak-berkembang.html

©ourtesy of https://laguminanglamo.wordpress.com/

8 Comments

  1. saya setuju.. namun apa nggak ada yang mempertahankannya dengan iringan alat music tradisional.. seperti saluang, pupuik padi dan talempong. bukan kah lbh baik mprtahankan aslinya kan da..! saya pernah dengar lagu pop minang sekarang yang menggunakan instrumental tradisional. sejujurnya,saya dan teman saya orang batak sampai meneteskan air mata.(saya benci music minang yang di iringi ORGEN)

    Reply

  2. Janganlah menciptakan lagu minang dg asal jadi saja. Musiknya walau dimodivikasi dg irama asing tapi harus dilantunkan dg tenang sehingga masuk kedalam relung jiwa seperti lagu minang tempn dulu. Saya ndak suka lagu minang dibikin dg musik yg hingar bingar yg memekakkan telinga. Saya sarankan pada pencipta lagu minang agar memperhatikan masalah ini.

    Reply

  3. Lagu minang sekarang banyak ditiru oleh daerah lain seperti dari banjar. Mereka memodifikasi lagu minang dg sangat apik dan tenang. Mereka merubah bhsnya menjadi bhs banjar. Kemudian mereka mengakuinya sebagai budaya mereka mulai sejak dahulu kala. Sedangkan lagu minang yg asli telah dirusak oleh orang minang sendiri. Mereka tidak menggali akar bunyi lagu minang. Tapi mereka hanya mengambil sesuatu yg tidak cocok dari luar. Boleh saja mengkombinasikan tetapi harus cocok dan sesuai dg bunyi lagu minang. Jangan terlalu kontras kedengarannya sehingga tidak baik didengar. Sebagai mana sibanjar dg apik mengaduk irama minang dg lagu banjar. Kita juga harus bisa mengadukknya dg baik. Jangan asal aduk saja. Saya sering mendengar lagu minang musiknya tidak serasi dg lagunya atau musiknya berobah-robah. Kadang saya mengharapkan iramanya harus menurun eh rupanya iramanya kok tinggi melengking. Pokoknya tak sesuai dg yg diharapkan. Semoga lagu minang nantinya bisa lebih baik. Dan bisa go internasional

    Reply

  4. lagu minang sekarang berkembang sesuai selera pasar itu memang benar. Contoh tersebut kita lihat dari boomingnya lagu-lagu dari Buset yang mengedepankan aliran minang hip-hop pada lagu ‘bato pren’. Hal itu sah saja dalam industri musik. Jika kita melihat lagi dari berbagai lagu yang muncul maka kita akan melihat lagu yang masih mencirikan minang pada lagu ‘maulang sayang’ yang dibawakan oleh Adilla Itma. Menurut saya musik minag tampaknya kedepannya akan memeiliki aliran musik minang tersendiri sesuai aliran musik yang ditonjolkan.

    Reply

Leave a comment